TEKS BERJALAN

WELCOME ON MY BLOG, SELAMAT DATANG PARA PENGUNJUNG, SELAMAT MENIKMATI SAJIAN ISTIMEWA KAMI, SEMOGA PUAS

Digby Mercher

Digby Mercher
The Principal of COMO SHS Perth

10 Februari 2009

BHP Penyebab Pendidikan Mahal?

BHP Penyebab Pendidikan Mahal?


Oleh Johannes Gunawan


Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UUBHP) yang disetujui DPR pada 17
Desember 2008 telah menuai reaksi dari mahasiswa, guru, dan pemerhati
pendidikan di beberapa tempat. Pada dasarnya, reaksi tersebut disebabkan
dua hal. Pertama, pemahaman yang belum utuh terhadap UUBHP. Kedua, dugaan
bahwa BHP identik dengan praktik beberapa PTN dan Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) yang memasang tarif SPP yang tidak terjangkau oleh masyarakat
miskin.

Apakah UUBHP menyebabkan pendidikan menjadi mahal, sehingga masyarakat
miskin tidak mampu membayar SPP


Menurut Pasal 41 Ayat (1) UUBHP,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung
seluruh biaya pendidikan untuk BHP Pemerintah (di bawah Depag) dan BHP
Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya
operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi
para siswa. Jadi, UUBHP menjamin bahwa negara menanggung semua biaya
pendidikan untuk wajib belajar 9 tahun atau siswa tidak perlu membayar
SPP.

Untuk siswa pendidikan menengah, Pasal 41 Ayat (8) UUBHP menjamin biaya
pendidikan yang ditanggung oleh seluruh siswa pada BHPP atau BHPPD paling
banyak sepertiga dari biaya operasional BHPP atau BHPPD tersebut. Kalimat
"paling banyak" berarti dapat kurang dari sepertiga hingga tidak dipungut
SPP. Sedangkan pemerintah dan pemerintah daerah, sesuai dengan
kewenangannya, menanggung sisanya, yaitu paling sedikit sepertiga biaya
operasional BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah.
Kalimat "paling sedikit" berarti dapat lebih dari sepertiga hingga
mendanai seluruh biaya operasional, bergantung pada seberapa besar
kemampuan siswa, orangtua, atau pihak yang membiayainya membayar SPP.

Bagi pendidikan tinggi, Pasal 41 Ayat (9) UUBHP menetapkan bahwa mahasiswa
menanggung paling banyak sepertiga dari biaya operasional BHPP tersebut.
Sedangkan menurut Pasal 41 Ayat (6) UUBHP, pemerintah bersama BHPP
menanggung sisanya, yaitu paling sedikit 1/2 biaya operasional BHPP
tersebut. Kalimat "paling banyak", berarti dapat kurang dari sepertiga
hingga tidak dipungut biaya SPP. Sedangkan kalimat "paling sedikit"
berarti dapat lebih dari 1/2 hingga mendanai seluruh biaya operasional
BHPP tersebut, bergantung pada seberapa besar kemampuan mahasiswa,
orangtua, atau pihak yang membiayainya untuk membayar SPP.

Potensi Akademik

Mengenai masyarakat miskin, Pasal 46 Ayat (1) UUBHP mewajibkan BHP
menjaring dan menerima WNI miskin yang memiliki potensi akademik tinggi,
paling sedikit 20% dari jumlah siswa/mahasiswa baru. Sedangkan Pasal 46
Ayat (2) UUBHP mewajibkan BHP mengalokasikan beasiswa bagi siswa/mahasiswa
miskin dan/atau yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20%
dari jumlah seluruh siswa/mahasiswa.

Biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP dan
BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah ditanggung oleh
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing.
Sedangkan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, ditanggung
oleh pemerintah bersama BHPP.

Apabila BHP tidak memberikan beasiswa; memungut dari siswa/mahasiswa lebih
dari sepertiga biaya operasional; dan tidak menjaring mahasiswa miskin;
secara berurutan Pasal 62 Ayat (1) dan Ayat (2) UUBHP menjatuhkan sanksi
administratif, berupa teguran lisan sampai dengan pencabutan izin satuan
pendidikan di dalam BHP tersebut.

Pendidikan Komersial?

Dalam pengertian sehari-hari, komersial berarti kegiatan mencari laba.
Apakah benar UUBHP membuat pendidikan yang diselenggarakan BHP menjadi
komersial? Pasal 4 Ayat (1) UUBHP mengatur bahwa BHP didasarkan pada
prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari
laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum
pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk
meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.

Itu berbeda dengan perseroan terbatas (badan hukum laba) yang membagikan
sisa hasil usaha komersial kepada para pemegang saham. Pembagian sisa
hasil usaha seperti ini tidak mungkin terjadi pada BHP, karena di dalam
BHP tidak terdapat pemegang saham.

Berhubung tidak ada pemegang saham, maka Pasal 38 Ayat (3) UUBHP mengatur
bahwa sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih BHP
wajib ditanamkan kembali ke dalam BHP dan digunakan untuk kepentingan
siswa/mahasiswa, pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, peningkatan
pelayanan pendidikan, dan penggunaan lain sesuai peraturan
perundang-undangan, paling lambat dalam waktu empat tahun.

Dalam penjelasan Pasal 38 Ayat (3) UUBHP dinyatakan secara tegas bahwa
kewajiban penanaman kembali ke dalam BHP dimaksudkan untuk mencegah agar
BHP tidak melakukan kegiatan yang komersial. Berhubung tidak ada pemegang
saham, maka Pasal 39 UUBHP melarang setiap orang di dalam BHP mengalihkan
kepemilikan uang, barang, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang
milik BHP secara langsung atau tidak langsung kepada siapa pun.

Setiap orang di dalam BHP yang melanggar prinsip nirlaba, tidak menanamkan
kembali sisa hasil usaha BHP ke dalam BHP, dan mengalihkan kepemilikan
BHP, dikenai sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 63 UUBHP, yaitu pidana
penjara paling lama lima tahun dan dapat ditambah dengan denda paling
banyak Rp 500.000.000.

Apakah benar bahwa karena BHP otonom, maka BHP dapat dengan leluasa
menerima mahasiswa di luar kapsitasnya melalui berbagai jalur untuk
mereguk keuntungan? Pasal 47 Ayat (3) dan Ayat (4) UUBHP mengatur bahwa
untuk mewujudkan akuntabilitas publik BHP yang menyelenggarakan pendidikan
tinggi, jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap BHP harus sesuai dengan
kapasitas prasarana dan sarana, pendidik dan tenaga kependidikan,
pelayanan, serta sumber daya pendidikan lainnya.

Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah maksimum mahasiswa diatur dengan
peraturan menteri. BHP yang menerima mahasiswa melebihi jumlah maksimum
akan dijatuhi sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 62 Ayat (1) dan
Ayat (2) UUBHP, yaitu dari teguran lisan sampai pencabutan izin satuan
pendidikan dalam BHP.

Kata Pailit

Beberapa pemerhati pendidikan dan sebagian mahasiswa mengatakan, karena
dalam UUBHP terdapat kata pailit, sehingga BHP dapat dipailitkan, maka BHP
adalah komersial. Kata pailit atau kepailitan bukan monopoli badan hukum
laba juga berlaku untuk badan hukum nirlaba. Kapailitan adalah sita umum
atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas, sebagaimana
diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

Apakah benar UUBHP menyebabkan liberalisasi pendidikan, yaitu membebaskan
pendidikan dari kendali pemerintah atau pemerintah daerah melalui
privatisasi? Menurut Oliver Letwin dalam buku Privatising the World,
privatisasi adalah mengalihkan kegiatan industri dan perdagangan dari
sektor publik ke sektor swasta, dengan tiga cara, yaitu contracting- out
for public services, deregulation for statutory monopolies, dan trade
sales for companies in poor financial condition. UUBHP tidak bertujuan dan
tidak pernah mengatur pengalihan sekolah negeri atau perguruan tinggi
negeri dengan cara mengontrakkan, melakukan deregulasi, atau menjual ke
pihak swasta. Apalagi mengatur bahwa pihak asing dapat melakukan investasi
sampai 49 persen pada BHP yang menyelenggarakan pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi.

Tidak ada pula pengaturan dalam UUBHP bahwa pemerintah atau pun pemda
menjadikan pendidikan sebagai sektor terbuka bagi penanaman modal dan
menggolongkannya sebagai komoditas. Istilah "investasi' dalam UUBHP
pertama menunjuk pada biaya investasi, yaitu biaya pengadaan prasarana dan
sarana (gedung/lahan) BHP demi kepentingan penyelengaraan pendidikan.

Kedua, justru menunjuk pada kemungkinan BHP menginvestasikan (bukan BHP
menerima investasi) sebesar paling banyak 10% dari volume pendapatan dalam
anggaran tahunan BHP dalam portofolio atau untuk mendirikan badan usaha.
Sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih BHP dari
investasi oleh BHP tersebut wajib ditanamkan kembali ke dalam BHP oleh
Pasal 38 Ayat (3) UUBHP sebagaimana diuraikan di atas.

Sungguh menyesatkan apabila terdapat pandangan bahwa pengesahan UUBHP
dengan sendirinya menggeser UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahkan
dinyatakan bahwa UU Sisdiknas tidak berlaku lagi, karena pemahaman yang
keliru tentang asas lex specialis derogat legi generalis. Asas ini berarti
bahwa hukum yang khusus harus didahulukan berlakunya daripada hukum yang
umum, namun tidak berarti bahwa hukum yang umum kemudian menjadi tidak
berlaku. UU Sisdiknas sebagai hukum yang umum (lex generalis) tetap
berlaku manakala UUBHP sebagai hukum yang khusus (lex specialis) tidak
mengaturnya.

Pemerintah atau pemerintah daerah sebagai pendiri BHPP atau BHPPD
mengendalikan BHPP atau BHPPD yang didirikannya dengan cara sebagaimana
diatur dalam Pasal 12 Ayat (2) dan Pasal 13 Ayat (1) dan Ayat (2) UUBHP.

Penulis adalah Gurubesar Hukum Perjanjian Unpar dan Anggota Panja RUU BHP
Pemerintah dan Komisi X DPR